Ada sebuah keberanian yang luar biasa, yaitu keberanian untuk mengakui ketidakjujuran secara jujur.
Malam itu, seperti malam-malam lainnya di Rumah Sejahtera, anak-anak berkumpul setelah salat Maghrib. Biasanya, waktu ini kami gunakan untuk Tahsinul Qur’an atau menghafal Hadits Arbain. Namun, kali ini, suasana kami buat berbeda. Saya mengajak seluruh anak asuh untuk duduk melingkar, berbincang dari hati ke hati tentang satu kata yang mudah diucap namun seringkali berat untuk dipikul: Kejujuran.
Kebetulan, tujuh anak kami yang bersekolah di Madrasah Tsanawiyah baru saja menyelesaikan Ulangan Kenaikan Kelas (UKK). Momen ini saya gunakan sebagai pintu masuk untuk membuka diskusi.
Saya memulai dengan bercerita tentang betapa mahalnya sebuah kejujuran di zaman ini. Saya kisahkan cerita dari zaman Rasulullah, tentang seorang anak yang berani mengadukan ayahnya karena mengambil hartanya, menunjukkan bahwa kebenaran harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Saya juga menyambungkannya dengan berbagai peristiwa di sekitar kita, hingga berita-berita politik di negeri ini, di mana ketidakjujuran sering menjadi pangkal dari berbagai masalah.
Secara lisan, semua anak sepakat: ketidakjujuran adalah awal dari sebuah petaka.
Dari diskusi umum, saya membawa percakapan kembali ke rumah kami, Panti Asuhan Rumah Sejahtera. Saya amati raut wajah mereka satu per satu. Saat saya bertanya tentang hal-hal kecil sehari-hari—siapa yang lupa mengembalikan sapu ke tempatnya, atau siapa yang meninggalkan gelas kotor—mereka yang merasa melakukannya langsung mengaku. Ada kelegaan dalam pengakuan-pengakuan kecil itu.
Hingga tibalah pada pertanyaan puncaknya, sebuah pertanyaan yang menuntut kejujuran paling dalam.
“Sekarang, Bapak mau tanya. Siapa yang waktu mengerjakan soal UKK kemarin, melakukannya dengan tidak jujur?”
Hening sejenak. Ini adalah pertanyaan yang sulit. Namun, di tengah keheningan itu, terjadi sebuah keajaiban kecil. Perlahan, dua tangan terangkat ke udara. Dua anak kami dengan berani mengakui bahwa mereka telah berbuat curang.
Saya tidak memarahi mereka. Justru, saya merasakan kehangatan yang luar biasa di hati. Saya mulai bercerita kepada mereka tentang nilai keberkahan hidup. Tentang bagaimana kejujuran, meski terasa pahit di awal, akan membawa berkah yang manis di kemudian hari. Sebaliknya, ketidakjujuran, meski mendatangkan kesenangan sesaat, akan menghilangkan berkah dan mendatangkan akibat buruk, tidak hanya di dunia, tapi terlebih di akhirat.
Setelah mereka merenung, saya tidak mendikte hukuman. Saya hanya bertanya, “Setelah menyadari ini, apa yang akan kalian lakukan?”
Jawaban yang keluar dari mulut salah satu dari mereka sungguh di luar dugaan. “Saya akan membuat surat pernyataan, Pak. Bahwa saya telah berbuat curang dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.”
Akhirnya, kedua anak pemberani itu menuangkan pengakuan mereka di atas kertas. Mereka menulis surat pernyataan yang ditujukan kepada madrasah tempat mereka belajar, dan meminta saya untuk menandatanganinya sebagai wali mereka.
Malam itu, kami semua belajar. Anak-anak belajar tentang konsekuensi dan tanggung jawab. Saya belajar bahwa tugas kami di sini bukanlah untuk mencetak anak-anak yang sempurna tanpa salah, melainkan untuk mendidik jiwa-jiwa yang ketika salah, mereka tahu jalan untuk kembali. Karena nilai ulangan bisa diperbaiki, namun fondasi kejujuran yang retak akan sulit untuk dibangun kembali. Dan malam itu, dua anak kami telah memilih untuk membangun fondasi mereka dengan kokoh.

Tinggalkan Balasan