Hai, teman-teman! Pernahkan kalian mendengar kata buli (bully) atau buliying (bullying)? Tentu saja kata ini sudah tidak asing lagi di kalangan remaja. Terlebih di telinga kita sendiri, bukan? Nah, kira-kira apa yang kalian tahu tentang buli atau buliying?
Setahu saya buli adalah suatu tindakan yang mengandung unsur merendahkan, menghina, atau menjatuhkan orang lain. Betul-tidak teman-teman? Jika kurang yakin dengan pendapat saya, kalian dapat searching saja di google. Di situ, teman-teman akan mendapatkan penjelasan yang lebih komplit daripda yang saya ketahui.
Nah, pernahkah kalian dibuli, dimusuhi, atau bahkan diperlakukan dengan keras oleh teman sendiri? Bagaimana rasanya? Samakah dengan yang aku rasakan?
Yang saya alami selama ini benar-benar berujung hikmah untuk pribadi saya sendiri. Dan saya berharap, kalian pun dapat menceritakan pengalaman pribadimu ketika dibuli. Pasti banyak hikmah di balik peristiwa itu. Kita bisa saling belajar dengan berbagi pengalaman pribadi kita. He he… tergantung kita juga, Sih, mau atau tidak untuk mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang kita alami.

Baiklah!
COME ON!
COME ON!
COME ON! Jeng, jeng jeeengg!
Sejak kecil aku sudah mengalami siblings rivalry, yaitu persaingan antar saudara. Perlakuan pilih kasih kerap aku rasakan dalam keluarga. Ketika mereka dibelikan es krim dan melahapnya, aku hanya bisa melihat sembari menunggu mereka menghabiskannya. Ketika mereka dibelikan baju baru dan mengenakannya, aku hanya memakai baju lusuh, itu pun baju pemberian dari bulik. Saat mereka dibelikan mainan baru dan bermain bersama teman-temannya, aku hanya memainkan mainanku yang terkumpul dari barang bekas yang kemudian aku rakit sendiri menjadi sebuah mainan. Aku bergabung dengan mereka dari kejauhan, karena aku tahu, jika aku mendekatinya, mereka pasti akan bubar dan meninggalkanku sendirian. Ketika mereka pergi berlibur dengan keluarganya, aku hanya bisa melambaikan tangan di pinggir jalan, menyertai keberangkatannya.
Ketika pembagian raport kelas 1 SD, aku meraih peringkat pertama dari 35 siswa. Aku marasa iri terhadap teman-temanku yang mendapat apresiasi dari orang tuanya. Ucapan salamat, pelukan, ciuman, bahkan pemberian hadiah. Aku tahu. Mereka sebenarnya tidak sehebat aku. Tetapi, mengapa orang tuaku bersikap acuh saja terhadapku. Tidak ada peristiwa istimewa saat itu bagiku.
Dipertengahan liburan semester, orangtuaku mengajakku bepergian dengan membawa beberapa pakaian dan peralatan rumah. Aku sangat gembira waktu itu, akhirnya mereka mengajakku pergi berlibur dengan menggunakan kapal. Setelah kapal berlabuh, kami melanjutkan perjalanan menggunakan mobil. Namun di sepanjang perjalanan tak kudapati sebuah kehidupan kecuali hutan belantara. Aku pikir, orangtuaku akan mengajakku untuk berburu binatang, dan pastinya itu akan menjadi liburan yang sangat menyenangkan untuk diceritakan kepada teman-temanku. Tak lama kemudian, mobil yang kami gunakan memasuki sebuah kompleks perumahan lalu berhenti di salah satu rumah yang akan kami tempati.
Desa itu panas, gersang, dan berpenduduk sedikit. Setelah beberapa hari tinggal di rumah itu, aku merasakan jenuh dan bosan. Aku meminta untuk pulang waktu itu juga, namun orangtuaku mengatakan, “kamu harus betah ikut merantau disini, hingga kamu besar nanti.” Jadi seperti itukah hadiah yang mereka berikan atas kerja kerasku mendapatkan peringkat pertama dikelas? Ternyata mereka membawaku pergi jauh bukan untuk berlibur, tetapi untuk hidup di perantauan.
Aku mulai menjalani sekolah baru di sana, beradaptasi dengan teman-teman yang berasal dari berbagai daerah. Semakin lama, aku bingung dengan tingkah teman-temanku yang sering berlaku dan berkata kasar kepadaku, seolah tidak menerimaku di sekolah itu.
“Dasar! Anak baru aja belagu!”
“Sok cantik! Sok pinter lagi!”
“Mentang-mentang selalu jadi juara! Berani kali kamu menyaingi aku!”
“Gara-gara kamu! Semua guru jadi tidak perhatian lagi dengan kita!”
“Wuuu! Pergi saja kamu dari kelas ini!”
“Dih! Nangis lagi! Dasar cengeng!”
“Pergi sana! Kita tidak suka sama anak cengeng kaya kamu!”
Perkataan seperti itu hampir aku dapati setiap hari. Ya, teman-temanku memanfaatkan waktu kosong untuk terus mencemoohiku. Ada salah satu anak yang sangat membenciku, selepas bel pulang sekolah berbunyi. Dia dan kawan-kawannya menghadangku di depan pintu gerbang. Mereka mengancamku.
“Heh! Anak cengeng! Sok cantik dan sok pinter! , awas saja kalau besok berani berangkat sekolah, aku akan panggil bapakku dan membawa parang untuk memarangimu!.”
Mereka bergantian menjorok-jorokkan tubuhku. Seketika itu aku menangis, aku sangat ketakutan dan tubuhku bergetar kencang. Aku berlari secepat mungkin untuk segera masuk ke BUS ANAK SEKOLAH dan mengumpat dikursi paling pojok. Sesampainya dirumah, aku merasa tak enak badan , aku tertidur hingga keesokkan harinya aku tidak masuk sekolah karena demam tinggi hingga beberapa hari. Setelah sembuh, aku teringat kembali perkataan temanku. Ancaman itu membuatku sangat, sangat, dan sangat takut untuk berangkat sekolah. “aku nggak mau di bunuh, aku nggak mau di bunuh, aku nggak mau di bunuh.”. semenjak itu, aku selalu mengurung diri di dalam rumah dan memutuskan untuk tidak ingin sekolah lagi. Orangtuaku selalu memarahiku habis-habisan. So? Aku menjadi semakin ketakutan. Aku tidak berani bercerita kepada orangtuaku mengenai permasalahanku. Orangtuaku tidak mengetahui apa yang terjadi padaku. Intinya mereka marah karena aku tidak mau sekolah. “dasar anak bodoh!.” Aku mulai mendapati kata-kata dan perlakuan kasar dari orangtuaku. Hingga akhirnya , aku dipulangkan ke rumah nenek dan disekolahkan disana oleh orangtuaku.
Andaikan mereka tahu mengapa aku tidak mau sekolah lagi, andaikan dari awal aku mau untuk berkata jujur bahwa aku mendapat ancaman pembunuhan dari teman-temanku waktu itu, andaikan mereka tahu! Pasti aku tidak akan dikatakan anak bodoh! dan diperlakukan sekasar itu!. Andaikan mereka tahu, aku tidak akan dipulangkan sendirianan tinggal dirumah nenek! andaikan mereka tahu perasaanku saat itu, andaikan mereka tahu betapa takutnya aku saat itu!.
Aku mulai masuk sekolah kelas 4 SD, namun beberapa bulan kemudian, saat liburan semester tiba, orangtuaku kembali membawaku ke perantauan lagi, perasaan takut akan ancaman dari teman-temanku itu kembali mengusik diriku. Aku takut, sangat takut sekali waktu itu, namun aku tidak berani mengatakannya sedikit pun kepada orangtuaku. Bersyukur, aku tidak dimasukkan ke sekolah yang dulu lagi, sehingga aku tidak akan bertemu dengan teman-teman yang sudah mengancam akan membunuhku itu.
Aku dimasukkan ke sekolah yang lebih dekat dengan TPA (Tempat Penitipan Anak). setiap pulang sekolah, aku ditugaskan menjemput adikku di TPA untuk aku momong sendiri dirumah hingga orangtuaku pulang kerja nanti. Suatu hari, adikku terjatuh dari jendela, karena aku lengah menjaganya. Tangisnya begitu keras, ternyata adikku terluka dibagian wajah karena terkena benda tajam yang ada dibawah jendela. Seketika aku langsung mendapat pukulan hebat dari orangtuaku di bagian kepala. “dasar! Kakak bodoh!.” Aku menangis sejadi-jadinya, merasakan sakitnya hati dan pukulan itu .
Kenaikan kelas 5 SD, aku dan orangtuaku pulang ke rumah dan tidak akan kembali lagi ke perantauan. Aku melanjutkan kelas 6 di sekolah yang sama seperti dulu ketika aku mendapatkan peringkat pertama waktu kelas 1 SD. Aku bertemu kembali dengan teman-teman kecilku dulu. seketika , aku teringat bahwa mereka adalah teman-teman yang sering mengerjaiku, mengolok-olok, dan memusuhiku waktu kecil. Aku pikir, setelah sekian tahun lamanya kita berpisah, kita sudah sama-sama melupakannya. Namun, siapa sangka. Hadirnya aku di sekolah itu, tak ubahnya membuat mereka tetap perpandangan sinis terhadap diriku. Bahkan mereka tidak hanya sekedar mengerjai, mengolok-olok ataupun memusuhiku. Mereka mengurungku di dalam kelas seorang diri! melempari ku sampah seolah aku ini adalah tempat sampah! mereka memojok-mojokkanku dengan berbagai tindakan mencemooh! dan mencaci maki diriku!. Aku selalu bertanya-tanya . salah apakah diriku? Adakah sikapku yang menyakiti mereka sehingga mereka membalas menyakitiku seperti itu? Entahlah, aku juga bingung. Hanya saja , aku selalu mendapati tatapan tajam dan wajah-wajah sinis mereka ketika aku maju ke depan kelas dan namaku sering dipanggil oleh guru.
Ketika wisuda kelulusan kelas 6 SD, aku menempati peringkat ke tiga. Itu benar-benar membuatku sedih dan takut. Aku sedih, karena kali ini aku tidak mendapatkan peringkat pertama. Aku takut, takut orangtuaku kecewa denganku karena prestasiku menurun.
Impianku, setelah lulus SD, aku bisa melanjutkan ke SMP favorit di Kota ku itu. Aku yakin meskipun nilaiku tidak lebih baik dari kemarin, dengan aku menyabet peringkat tiga, aku pasti bisa mewujdkan impianku itu. Namun, orangtua ku tidak setujudengan pilihanku itu, mereka justru memasukkanku di Pesantren untuk belajar Al-Quran. Aku sedkit kecwa waktu itu, tapi tidak apa-apalah, setidaknya dengan mereka menyekolahkan aku jauh di Pesantren itu, aku bisa lebih tenang menjalani hari-hariku tanpa gangguan dari teman-temanku lagi. Aku mulai menata hati, bersemangat memperbaiki prestasiku lagi. Aku berharap di Pesantren itu, prestasiku akan kian membaik dan lebih baik lagi.
Aku menjalani hari-hariku di Pesantren dengan enjoy. Namun, lagi-lagi hal buruk menimpa diriku. Tiba-tiba saja aku mendapati masalah dengan kakak kelas dan temanku sendiri di Pesantren itu, sebetulnya masalahnya hanya salah paham. Tapi, karena kebiasaan diriku yang tidak pernah berani untuk membela diri sendiri sehingga dari kejadian itu membuat aku harus keluar dari Pesantren. Orangtuaku sangat kecewa padaku, masih bersyukur aku bisa disekolahkan lagi meskiupun harus dimasukkan di sekolah umum yang biasa-biasa saja. Aku merasakan hancur sudah harapanku di Pesantren itu.
Aku mulai menjalani hari-hari baru di sekolah SMP. Namun, betapa tercengangnya aku, ketika aku dapati wajah anak-anak di SMP itu tak lain adalah teman-temanku sendiri semasa SD . Itu benar-benar pertanda buruk. Dan benar saja, ternyata mereka tidak pernah bosan untuk mengusik hidupku.
“cih, pindahan dari pesantren masuk di sekolah ini? Nggak salah?.”
“eh! Kamu anak nakal ya makannya dikeluarkan dari pesantren?!.”
“ada anak munafik woy! Disekolah kita. Hati-hati!!! Hahaha.”
“pegi ke masjida aja sana! Ngisi pengajian, tempatmu tuuh bukan disini!.”
“sok suci banget, pake jilbab gede segala!.”
“ini tuh sekolahan ya! bukan tempat pengajian! Melek dong!.”
“sok nutupi aib !.”
“dasar anak gatau malu!.”
Berbagai cemoohan dari mereka pun mulai aku dapati lagi. Ternyata mereka belum puas dengan usaha mereka untuk menrendahkan atau bahkan ingin menjatuhkan ku sejatuh-jatuhnya. Aku heran, terbuat dari apakah hati mereka itu?. Mereka menyebar aibku dilingkungan sekolah, bahkan kabar itu dengan cepat beredar di lingkungan masyarakat hingga sampai ke telinga keluargaku sendiri. Sudah pasti, orangtuaku sangat marah sekali denganku. Orangtuaku menyimpulkan bahwa masalah ini disebabkan oleh ulahku sendiri. Mengapa orangtuaku saja lebih berpihak kepada teman-temanku? Orangtuaku tidak sedikitpun mempercayaiku!.
Yaallah, salah apa sebenarnya diriku ini? Apa pernah aku berkata kepada mereka seperti mereka mengataiku selama ini? Apa pernah aku memperlakukan mereka seperti mereka memperlakukan aku selama ini? Apa pernah aku mengurung mereka didalam kelas seperti mereka mengurungku seorang diri waktu SD? Apa pernah aku melempari mereka dengan sampah seperti mereka melempariku sampah seolah aku ini adalah tempat sampah? Apa pernah aku membuat fitnah kepada mereka seperti mereka menyebar fitnah tentang diriku dan keluargaku saat ini? Stop, aku tidak ingin mengulas cerita ini lebih dalam lagi, karena ujung-ujungnya? Nangis. Ya, aku memang cengeng, seperti apa yang dikatakan teman-temanku itu “dasar cengeng!.”
Aku sangat payah karena tidak bisa membela diriku sendiri. Mengapa selama ini aku DIAM saja? Mengapa hanya nangis,nangis, dan nangis saja yang bisa ku lakukan? Mengapa aku terlalu merendahkan diriku sendiri di hadapan mereka? aku mulai berpikir untuk mencoba membela diri jika sewaktu-waktu aku menghadapi perlakuan buruk mereka lagi. Aku mulai mencoba untuk membenarkan isu-isu yang tersebar, bahwa semua itu adalah hoax. Namun, aku tidak habis pikir. Mereka justru tidak terima atas usahaku dalam membela diriku sendiri. Mereka mengadakan perlawanan terhadapku didepan umum, sehingga menyita banyak perhatian warga sekolah. mau tidak mau, aku harus menghadap guru BK dengannya. Ini adalah keburukan yang hakiki, dia sangat pandai dalam bermain kata, air mata dan membalikkan fakta kebenaran itu di hadapan guru BK, dia memojokkanku seolah-olah aku ini adalah biang dari semua permasalahan itu. Alhasil, guru BK pun terpengaruh oleh perkataan dusta itu. Aku sangat muak , benar-benar muak dengan mereka berdua. saat itu, aku tidak bisa sedikit pun membela diriku . aku memilih diam, air mataku yang berbicara, bahwa apa yang dikatakannya, itu semua hanyalah omong kosong belaka dan sangat jauh dari faktanya. Aku tatap diam, menangis, hingga kembali ke dalam kelas.
Aku harap, setelah insiden di ruang BK itu, dia sudah merasa puas karena berhasil menjatuhkanku. Dan aku berharap, dia dan kawan-kawannya tidak akan menggangguku lagi.
Ketika kenaikan kelas 9, entah dengan motif apa mereka kembali mengusik hidupku lagi. Ada saja cara mereka untuk terus menjatuhkanku. Diam-diam mereka menyebut-nyebut namaku di Social Media. Dengan itu, aku mendadak menjadi siswa yang Famous dikalangan pelajar dari berbagai sekolah SMP. Bahkan ke tinggat yang lebih tinggi yaitu, SMA dan SMK. Tak lama kemudian pengguna Social Media itu, mulai mengenali wajahku di dunia nyata. Tatapan sinis dan nyinyiran mulai aku dapati dari anak-anak yang tidak aku kenal. Aku sering menjumpainya di sepanjang perjalanan pulang pergi ke sekolah. beberapa hari kemudian, tiba-tiba, aku mendapati masalah dengan siswi SMK lantaran kesalahpahaman di social media. Aku yakin, itu semua hanya permainan temanku sendiri. Ini sangat tidak masuk akal.
Hingga tiba saatnya wisuda pelepasan SMP, aku benar-benar kecewa dan sangat-sangat kecewa. Prestasiku turun drastis! Aku menduduki peringkat 7 !! betapa ibanya aku melihat Orangtuaku mengetahui diriku yang semakin bobrok prestasi. Aku benar-benar tidak habis pikir, semua ini akan berakibat buruk terhadap prestasiku dibangku sekolah. bagaimana aku bisa masuk di SMA favorit yang aku damba-dambakan sejak dulu? bagaimana aku bisa membahagiakan orangtuaku jika prestasiku kian menurun?
Semenjak itu juga, aku benar-benar merasakan sakit se sakit-sakitnya setelah sekian tahun lamanya mendapatkan perlakuan buruk terutama dari teman-temanku sendiri. Semenjak itu juga , aku berani menyimpulkan berpendapat bahwa mereka sudah tidak pantas lagi disebut teman.
Aku sudah tidak bisa mengandalkan nilai lagi untuk bisa mendapatkan beasiswa di bangku SMA. aku mulai putus asa, pikirku, aku tidak akan bisa melanjutkan sekolah SMA karena biaya yang kurang mencukupi. Aku sempat down se down-downnya selama beberapa hari, aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk orangtuaku. Namun, suatu ketika aku mendapatkan uluran tangan dari hamba Allah yang pelan-pelan menuntunku menuju kehidupan yang Sejahtera. Aku belajar membuka hati, mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Aku mulai mendapatkan ketenangan hati, yang tidak akan pernah bisa ditukar dengan segudang prestasi.
Alhamdulillah…..
PARS, Kamis 10 Oktober 2019
@ananda_prarisa