Mengaku secara jujur bahwa tidak jujur itu luar biasa.
Seperti malam-malam biasanya, setiap bakda maghrib semua anak asuh ngumpul Tahsinu al-Quran atau hafalan Hadtis Arbain. Namum, malam Ahad (8/06/2013) seluruh anak asuh saya ajak ngobrol tentang kejujuran. Hal yang mudah diucapkan, namun sangat sulit diwujudkan. Meskipun dari hal yang paling kecil.
Kebetulan ada 7 anak asuh yang di MTs sudah melaksanakan UKK (Ulangan Kenaikan Kelas). Saya memulai cerita tentang mahalnya dan hilangnya sebuah kejujuran. Cerita tentang seorang anak laki-laki yang mengadukan ayahnya kepada Rasulullah karena mencuri hartanya. Juga cerita tentang berbagai kejadian di sekitar terkait ketidakjujuran sampai berita yang berbau politik di negera tercinta, Indonesia. Semua sepakat dalam lisan, bahwa ketidakjujuran adalah awal petaka manusia.
Sampailah tentang kehidupan keseharaian di Panti Asuhan Rumah Sejahtera. Dari raut wajah anak asuh, dapat saya ketahui kejujuran hati saat itu. Setiap ada hal yang terkait dengan kejanggalan, misalnya letak sapu, gelas kotor, dan lain-lain ternyata selalu diakui bagi yang merasa melakukannya. Termasuk saya tanyakan kejujuran dalam mengerjakan soal UKK.
“Siapa yang dalam UKK tadi tidak jujur?
Alhamdulillah, ada dua anak yang tunjuk jari sebagai tanda bahwa dia tadi melakukan kecurangan.
Saya mulai bercerita nilai keberkahan hidup yang terkait dengan kejujuran dan ketidakjujuran. Termasuk akibat yang bakal diterima baik dan dunia terlebih di akhirat dari akibat keduanya.
“Apa yang akan kamu lakukan?”
“Saya akan membuat surat pernyataan bahwa saya melakukan kecurangan dan saya berjanji tidak akan mengulangi lagi”, jawab satu anak asuh itu.
Akhirnya, keduanya membuat surat pernyataan yang mintakan tanda tangan saya sebagai walinya. Surat tersebut ditujukan kepada kepada madrasah tempat mereka sekolah.